BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia dalam menjalani kehidupannya membutuhkan
berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut setiap
individu harus mendapatkannya dengan melakukan pembelian, meminjam atau pun
dengan sistem barter. Untuk membeli dan meminjam saat ini memang sangat sering
dilakukan dan dimungkinkan terjadi. Untuk barter memang mungkin terjadi tetapi
saat ini sistem tersebut jarang sekali dipergunakan. Seperti yang kita ketahui
manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhan sehari-hari setiap orang memiliki
berbagai cara sesuai dengan perkembangan kehidupan saat ini, misalnya
pinjam-meminjam. Ketika terjadi hubungan pinjam meminjam maka timbul hak dan
kewajiban, ketika terjadi wan prestasi maka disinilah timbulnya pemikiran
mengenai apa yang dinamakan jaminan.
BAB II
PERMASALAHAN
1. Apakah
pengertian hukum jaminan?
2. Bagaimanakah
jenis-jenis hukum jaminan?
3. Apasajakah
asas-asas hukum jaminan?
4. Bagaimana
Sistem Pengaturan Hukum Jaminan?
5. Bagaimana
Sumber Hukum Jaminan?
6. Apakah
Fungsi Hukum Jaminan?
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Jaminan
Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang
mengatur ketentuan mengenai jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga
bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi.
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering mendengar istilah jaminan.
Jaminan dalam pengertian bahasa sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian
adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau penanggung
pinjaman uang terhadap seseorang. Jadi pengertian jaminan secara umum adalah
suatu benda yang dijadikan tanggungan bagi sebuah perjanjian hutang piutang
antara kreditur dan debitur. Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur yang
terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
1.
Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumberkan
kepada ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
Ketentuan hukum jaminan yang tertulis adalah ketentuan hukum yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, termasuk yurisprudensi, baik itu berupa peraturan
yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif (turunan). Adapun
ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan hukum yang timbul
dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan utang suatu jaminan.
2.
Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai
hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan
(kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang berutang dalam suatu hubungan
utang-piutang tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan tertentu sebagai
(benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).
3.
Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada
kreditur.
4.
Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan
dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.
Pengertian hukum jaminan dari berbagai pendapat para ahli
1. Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan
Hukum jaminan adalah hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan
pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya
sebagai jaminan .Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan
kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi
dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar,dengan jangka waktu lama dan
bunga yang relatif rendah. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi
Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan
dating. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan jaminan.
2. J satrio
Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang
seorang kreditor terhadap debitor. Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada
hak-hak kreditor semata-mata,tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor.Padahal
subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata,tetapi
juga erat kaitannya dengan debitor.
3. Salim H.S
Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.
4. Prof. M. Ali Mansyur
Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditor dan
debitor yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit. Dari
pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah peraturan
hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jamianan dengan penerima
jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan.[1]
Unsur–unsur yang tercantum dalam
defenisi tersebut adalah
1.
Adanya kaidah hukum
2.
Adanya pemberidan penerima kuasa
3.
Adanya jaminan
4.
Adanya fasilitas kredit
Sumber hukum adalah tempat dimana
ditemukan hukum. Dalam hal ini, hukum jaminan bersumber dari Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai terjemahan dari
Burgerlijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum perdata material yang
diberlakukan pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi.
Ketentuan hukum jaminan dapat
dijumpai dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai
hukum kebendaan. Dilihat dari sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
pada prinsipnya hukum jaminan merupakan bagian dari hukum kebendaan, sebab
dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai pengertian,
cara membedakan benda dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan kenikmatan
dan jaminan.
Ketentuan dalam pasal-pasal buku II
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan
hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh
Satu, Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Dalam pasal-pasal Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang
diistimewakan, gadai, dan hipotek. Secara rinci materi kandungan
ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang termuat dalam buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, sebagai berikut:
a.
Bab XIX : Tentang Piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal
1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistimewakan Pada Umumnya
(Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138);
Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa mengenai
Benda-Benda Tertentu (1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian ketiga atas Semua
Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149);
b. Bab
XX : Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, Pasal 1161 telah
dihapuskan).
c.
Bab XXI : Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasaal 1232); Bagian Kesatu
tentang Ketentuan-Ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178); Bagian
Kedua tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal
1179 sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal
1195 sampai dengan 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat Hipotek Terhadap
Orang Ketiga yang menguasai benda yang Dibebani (Pasal1198 sampai dengan Pasal
1208); Bagian Kelima tentang hapusnya Hipotek (1209 sampai dengan Pasal 1220);
Bagian Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek,
Tanggung Jawab Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal
Diketahuinya Register-Register oleh Masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal
1232).
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan
ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sementara itu pembebanan hipotek atas
benda-benda tidak bergerak lainnya selain hak atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, hipotek kapal laut misalnya, tetap menggunakan
lembaga dan ketentuan-ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162
sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain mengatur hak jaminan
kebendaan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur pula mengenai jaminan
hak perseorangan, yaitu penanggungan utang (borghtocht) dan perikatan
tanggung-menanggung. Jaminan hak perseorangan ini diatur ’’yaitu pada Titel
Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai dari Pasal 1820
sampai dengan Pasal 1850. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengertian dan
sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara debitur (yang
berutang) dan penjamin (penanggung) utang serta antara para penjamin hutang dan
hapusnya penanggungan utang. Secara rinci kandungan materi yang terdapat dalam
Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Titel Ketujuh Belas Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut:
a.
Bab Ketujuh Belas tentang penanggungan utang
b.
Bagian Kesatu tentang Sifat Penanggungan (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1830);
c.
Bagian Kedua tentang Penanggungan Antara Debitur dan Penanggungan Utang (Pasal
1831 sampai dengan Pasal 1838);
d.
Bagian Ketiga tentang Akibat-Akibat Penanggungan Antara Debitur dan Penanggung
Utang dan Antara Penanggung Utang Sendiri (Pasal 1839 sampai dengan Pasal
1844);
e.
Bagian Keempat tentang Hapusnya Penanggungan Utang (Pasal 1845 sampai dengan
Pasal 1850).
Selain itu didalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata juga diatur mengenai jaminan hak perseorangan
lainnya, yaitu
a.
Perikatan Tanggung-menanggung (Perikatan Tanggung Renteng) sebagaimana diatur
dalam Titel Kesatu Bagian Kedelapan dari Pasal 1278 sampai dengan Pasal 1295 di
bawah judul “tentang Perikatan-Perikatan Tanggung Renteng atau
Perikatan-Perikatan Tanggung-menanggung”;
b.
Pejanjian Garansi sebagaimana diatur dalam Pasal 1316 KitabUndang-Undang Hukum
Perdata.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan
hukum jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak hanya bersumber
kepada Buku II, melainkan juga bersumber kepada Buku III, yaitu mengatur hak
jaminan kebendaan dan hak jaminan perseorangan.
Pada umumnya jenis-jenis lembaga
jaminan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia dikelompokkan menjadi :
a.
Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena undang-undang dan
perjanjian;
b.
Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan bersifat
perorangan;
c.
Menurut kewenangan menguasainya, yaitu jaminan yang menguasai bendanya dan
tanpa menguasai bendanya,
d.
Menurut bentuk golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan umum dan
jaminan khusus
Dalam skema dibawah ini dapat
diperlihatkan kedudukan Perjanjian Garansi tersebut dalam sistem hukum Perdata:
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, kedudukan perjanjian garansi adalah dalam Buku Ke III (tiga) yaitu
tentang perikatan dan landasan hukum dasarnya adalah pasal ketentuan-ketentuan
umum perikatan seperti Pasal 1233 dan 1234.
Pasal 1233 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.” Dalam hal ini, perjanjian
garansi lahir karena adanya persetujuan.
Pasal 1234 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.”
Dalam hal ini, perjanjian garansi adalah perikatan yang ada untuk berbuat
sesuatu, yaitu menjamin atau berbuat “menjamin”.
Seperti yang telah diuraikan dalam
pengertian tentang Jaminan produk atau Garansi, pada dasarnya perjanjian
garansi yang dimaksud dalam hal jaminan produk ini adalah suatu perjanjian
penjaminan dimana pihak ketiga (dalam hal ini podusen atau importir) menjamin
bahwa produk yang dijual oleh pihak pertama (yaitu penjual atau distributor)
kepada pihak kedua (pembeli atau konsumen) adalah produk yang terbebas dari
kesalahan pekerja dan kegagalan bahan.
Dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dikatakan bahwa adalah diperbolehkan untuk menanggung atau
menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat
sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa
yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh
pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi
perikatannya.
Menurut seorang praktisi hukum
Rachmadi Usman pasal tersebut merupakan landasan hukum dasar perjanjian garansi
dan ini juga dapat dijadikan dasar hukum garansi jaminan produk dengan
menggunakan penafsiran analogi, karena bila langsung menjadi dasar hukum tanpa
adanya penafsiran analogi maka substansi yang terkandung dalam pasal tersebut
sedikit berbeda dengan garansi atau jaminan produk.
Kalau pada pasal tersebut substansi
perjanjian lebih cenderung mengarah pada perjanjian garansi yang dicontohkan
pada bank garansi misalnya. Dimana pihak bank merupakan suatu pihak yang
menjamin atau disebut “penanggung”, “guarantor”, atau “borg” yang
bersedia bertindak sebagai penanggung bagi nasabahnya yang menjadi debitur
dalam mengadakan suatu perjanjian (pokok) dengan pihak lain sebagai kreditur.
Perjanjian (pokok) tersebut biasanya adalah perjanjian kerjasama antara nasabah
bank (A) dengan pimpinan proyek (Y) untuk mengerjakan suatu proyek tertentu.
Dan pengerjaan proyek oleh si “A” inilah yang dijamin oleh si Bank, sehingga
Pimpinan Proyek “Y” dapat merasa aman bila bekerjasama dengan si “A” (tentunya
proyek yang dijaminkan dengan bank garansi adalah proyek yang mahal atau yang
menghabiskan dana besar). Sedangkan bila dikaitkan dengan perjanjian garansi
dalam hal jaminan produk maka akan ditemukan kesesuaian sebab pada dasarnya
adalah sama-sama suatu perjanjian jaminan, dimana kalau dalam hal ini, produsen
atau pelaku usaha lah yang berperan sebagai penjamin atau penanggung atau
guarantor atau borg yang bersedia bertindak sebagai penanggung akan kualitas
produk yang diperjualbelikan oleh penjual (distributor) kepada pembeli
(konsumen). Jadi bila dianalogikan maka peran produsen atau pelaku usaha dalam
perjanjian garansi jaminan produk sama dengan peran bank dalam perjanjian
garansi bank garansi sama-sama sebagai penjamin, peran produk yang dijual si
penjual atau distributor sama dengan peran kerja nasabah bank ( atau si “A”)
yaitu sama-sama yang menjadi objek jaminan dengan perbedaan kalau si penjual
atau distributor yang dijamin adalah kualitas produk yang dijualkannya
sedangkan si nasabah bank (si “A”) yang dijamin adalah kualitas kerjanya yaitu
baahwa dia mampu mengerjakan proyek tersebut, sedangakan peran pembeli
(konsumen) sama dengan peran si Pimpinan Proyek (si “Y”), dalam hal ini
sama-sama mendapat penjaminan sehingga merasa aman dan terlindungi dari
berbagai bentuk kerugian, dimana si pembeli atau konsumen produk akan merasa
aman dan terlindungi dari cacat bahan atau kerusakan dari kesalahan pekerja
sedangkan Pimpinan proyek atau “Y” merasa aman dan terlindungi dari kerugian
kegagalan proyek. Sebab kedua pihak yang mendapat penjaminan itu pun telah
membayar mahal segala sesuatunya jadi memang pantaslah mendapatkan suatu
jaminan atau garansi. Uraian diatas inilah yang dimaksudkan penafsiran analogi
tadi.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata perjanjian garansi serupa dapat kita lihat juga pengaturannya pada
Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 dengan juga meperhatikan Pasal 1831 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 1832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sedangkan untuk menjamin produk dari
cacat tersembunyi yang mengakibatkan kerugian dipihak konsumen maka Pasal 1504
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat
tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya tersebut.
2.
Jenis-jenis Hukum jaminan
- Jaminan Umum : Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-undang
- Jaminan Khusus : Jaminan yang lahir karena perjanjian
- Jaminan Kebendaan: Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri, yaitu mempunyai hubungan langsung atas benda dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan.
- Jaminan Perorangan: Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur, terhadap harta kekayaan debitur semuanya.
3.
Asas-asas Hukum Jaminan
1. Asas Publicitiet
Asas bahwa semua hak baik hak tanggungan hak fidusia
dan hipotik harus didaftarkan.
Hak tanggungan: Objek benda jaminan adalah tanah
berikut atau tidak berikut dengan apa yang ada diatasnya maka aturan hukum dan
yang mengaturnya adalah hak tanggungan.
Hak fidusia: Objek jaminan adalah benda bergerak
contoh: mobil, sepeda motor, perabot rumah tangga. Benda yang akan menjadi
jaminan masih tetap dikuasai. Aturan hukum yang mengaturnya disebut lembaga
Fidusia.
Benda yang akan menjadi jaminan tapi tidak dikuasainya
maka aturan hukum yang mengaturnya disebut pengadaian
Hipotik: Hipotik digunakan apabila benda yang sebagai
jaminan berupa kapal yang berbobot minimal 20 ton.
Hak-hak yang dijadikan sebagai jaminan ia wajib
didaftarkan yaitu dimasing-masing instansi yang berwenang terhadap benda
tersebut. Kegunaan didaftarkan adalah supaya pihak ketiga tahu bahwa benda
tersebut sedang dijaminkan untuk sebuah hutang atau dalam pembebanan hutang.
Asas publicitiet untuk melindungi pihak ketiga yang
beritikat baik
2. Asas Specialitiet
Bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotik hanya
dapat dibebankan atas persil (satuan tanah) atau atas barang-barang yang sudah
terdaftar atas nama orang tertentu. Secara ringkas, Bahwa sesuatu benda yang
akan dijaminkan sudah didaftarkan.
3. Asas Tidak Dapat Dibagi
Yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat
mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotik walaupun
telah dilakukan pembayaran sebagian. Contoh: A berhutang ke Bank 100 juta
dengan jaminan sebidang tanah, dan sebuah mobil. Tanah nilai taksirannya 100
juta dan mobil nilai taksirannya 60 juta, apabila hutang ini telah 50 % diselesaikan
maka nilai jaminannya hanya sebatas 1 benda jaminan tapi dengan begitu walau
hutang sudah mengecil tapi jaminan tidak bisa dibagi atau diambil.
4. Sistem
Pengaturan Hukum Jaminan
Sistem Terbuka: Boleh disimpangi. Orang dapat
melakukan hukum perjanjian mengenai apapun juga baik yang sudah ada pengatur
aturannya dalam KUHPerdata (Nominat) maupun yang tidak diatur dalam KUHPerdata
(Innominat).
Sistem Tertutup: Tidak Boleh disimpangi tunduk oleh
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, tidak dapat mengadakan hak-hak
jaminan baru selain yang telah ditetapkan dalam Undang-undang.
5.
Sumber Hukum Jaminan
- Buku ke II KUHPerdata: Antara lain tentang gadai dan hipotik.
- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Terutama yang berkaitan Hipotik kapal laut
- Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok agrarian.
- Undang-Undang No 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
- Undang-undang No 42 tahun 1949 tentang Fidusia.
- Undang-undang no 21 Tahun 1992 tentang pelayaran.
6. Fungsi
Jaminan
Fungsi jaminan adalah sebagai sarana perlindungan bagi
keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Jaminan
secara yuridis mempunyai fungsi untuk mengkover hutang. Oleh karena itu,
jaminan di samping faktor-faktor lain (watak, kemampuan, modal, jaminan dan
kondisi ekonomi), dapat dijadikan sebagai sarana perlindungan untuk para
kreditur dalam kepastian atau pelunasan utang calon debitur atau pelaksanaan
suatu prestasi oleh debitur.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang
mengatur ketentuan mengenai jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga
bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi.
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering mendengar istilah jaminan.
Jaminan dalam pengertian bahasa sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian
adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau penanggung
pinjaman uang terhadap seseorang.
2.
Saran
Dalam melakukan kegiatan pinjam-meminjam sebaiknya di
landasi dengan jaminan, karena dengan adanya jaminan para kreditur mendapatkan
sarana perlindungan bagi keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur.
Jadi, marilah kreditur dan debitur melakukan sebuah jaminan dalam proses
peminjaman atau hutang.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahsan,M.2007.
Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada
Latif,Azharudin.
Nahrowi. 2009. Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif dan Hukum
Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
Fuady,
Munir. 2003. Jaminan Fidusia. Bandung: PT. Aditya Bakti
H.S., Salim.
2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Widjaja,
Gunawan. Yani, Ahmad. 2001. Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Terima kasih, sangat membantu :)
BalasHapus