Rabu, 04 Januari 2017

MAKALAH HUKUM JAMINAN



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Manusia dalam menjalani kehidupannya membutuhkan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut setiap individu harus mendapatkannya dengan melakukan pembelian, meminjam atau pun dengan sistem barter. Untuk membeli dan meminjam saat ini memang sangat sering dilakukan dan dimungkinkan terjadi. Untuk barter memang mungkin terjadi tetapi saat ini sistem tersebut jarang sekali dipergunakan. Seperti yang kita ketahui manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhan sehari-hari setiap orang memiliki berbagai cara sesuai dengan perkembangan kehidupan saat ini, misalnya pinjam-meminjam. Ketika terjadi hubungan pinjam meminjam maka timbul hak dan kewajiban, ketika terjadi wan prestasi maka disinilah timbulnya pemikiran mengenai apa yang dinamakan jaminan.










BAB II
PERMASALAHAN
1.     Apakah pengertian hukum jaminan?
2.     Bagaimanakah jenis-jenis hukum jaminan?
3.     Apasajakah asas-asas hukum jaminan?
4.     Bagaimana Sistem Pengaturan Hukum Jaminan?
5.     Bagaimana Sumber Hukum Jaminan?
6.     Apakah Fungsi Hukum Jaminan?















BAB III
 PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hukum Jaminan
Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian bahasa sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau penanggung pinjaman uang terhadap seseorang. Jadi pengertian jaminan secara umum adalah suatu benda yang dijadikan tanggungan bagi sebuah perjanjian hutang piutang antara kreditur dan debitur. Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur yang terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
1.     Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan hukum jaminan yang tertulis adalah ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk yurisprudensi, baik itu berupa peraturan yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif (turunan). Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan utang suatu jaminan.
2.     Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan tertentu sebagai (benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).
3.     Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur.
4.     Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.

Pengertian hukum jaminan dari berbagai pendapat para ahli
1. Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan
Hukum jaminan adalah hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan .Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar,dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan dating. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.

2. J satrio
Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap debitor. Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditor semata-mata,tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor.Padahal subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata,tetapi juga erat kaitannya dengan debitor.

3. Salim H.S
Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.

4. Prof. M. Ali Mansyur
Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditor dan debitor yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit. Dari pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jamianan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan.[1]
Unsur–unsur yang tercantum dalam defenisi tersebut adalah
1.      Adanya kaidah hukum
2.      Adanya pemberidan penerima kuasa
3.      Adanya jaminan
4.      Adanya fasilitas kredit

Sumber hukum adalah tempat dimana ditemukan hukum. Dalam hal ini, hukum jaminan bersumber dari Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai terjemahan dari Burgerlijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum perdata material yang diberlakukan pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi.
Ketentuan hukum jaminan dapat dijumpai dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Dilihat dari sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada prinsipnya hukum jaminan merupakan bagian dari hukum kebendaan, sebab dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai pengertian, cara membedakan benda dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan kenikmatan dan jaminan.
Ketentuan dalam pasal-pasal buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu, Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan hipotek. Secara rinci materi kandungan ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang termuat dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, sebagai berikut:
a.       Bab XIX : Tentang Piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138);
Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa mengenai Benda-Benda Tertentu (1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian ketiga atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149);
b.      Bab XX : Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, Pasal 1161 telah dihapuskan).
c.       Bab XXI : Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasaal 1232); Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178); Bagian Kedua tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal 1179 sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat Hipotek Terhadap Orang Ketiga yang menguasai benda yang Dibebani (Pasal1198 sampai dengan Pasal 1208); Bagian Kelima tentang hapusnya Hipotek (1209 sampai dengan Pasal 1220); Bagian Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek, Tanggung Jawab Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal Diketahuinya Register-Register oleh Masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232).
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sementara itu pembebanan hipotek atas benda-benda tidak bergerak lainnya selain hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, hipotek kapal laut misalnya, tetap menggunakan lembaga dan ketentuan-ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain mengatur hak jaminan kebendaan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penanggungan utang (borghtocht) dan perikatan tanggung-menanggung. Jaminan hak perseorangan ini diatur ’’yaitu pada Titel Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengertian dan sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara debitur (yang berutang) dan penjamin (penanggung) utang serta antara para penjamin hutang dan hapusnya penanggungan utang. Secara rinci kandungan materi yang terdapat dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Titel Ketujuh Belas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut:
a.       Bab Ketujuh Belas tentang penanggungan utang
b.      Bagian Kesatu tentang Sifat Penanggungan (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1830);
c.       Bagian Kedua tentang Penanggungan Antara Debitur dan Penanggungan Utang (Pasal 1831 sampai dengan Pasal 1838);
d.      Bagian Ketiga tentang Akibat-Akibat Penanggungan Antara Debitur dan Penanggung Utang dan Antara Penanggung Utang Sendiri (Pasal 1839 sampai dengan Pasal 1844);
e.       Bagian Keempat tentang Hapusnya Penanggungan Utang (Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850).
Selain itu didalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga diatur mengenai jaminan hak perseorangan lainnya, yaitu
a.       Perikatan Tanggung-menanggung (Perikatan Tanggung Renteng) sebagaimana diatur dalam Titel Kesatu Bagian Kedelapan dari Pasal 1278 sampai dengan Pasal 1295 di bawah judul “tentang Perikatan-Perikatan Tanggung Renteng atau Perikatan-Perikatan Tanggung-menanggung”;
b.      Pejanjian Garansi sebagaimana diatur dalam Pasal 1316 KitabUndang-Undang Hukum Perdata.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak hanya bersumber kepada Buku II, melainkan juga bersumber kepada Buku III, yaitu mengatur hak jaminan kebendaan dan hak jaminan perseorangan.
Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia dikelompokkan menjadi :
a.       Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena undang-undang dan perjanjian;
b.      Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan bersifat perorangan;
c.       Menurut kewenangan menguasainya, yaitu jaminan yang menguasai bendanya dan tanpa menguasai bendanya,
d.      Menurut bentuk golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus
Dalam skema dibawah ini dapat diperlihatkan kedudukan Perjanjian Garansi tersebut dalam sistem hukum Perdata:

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kedudukan perjanjian garansi adalah dalam Buku Ke III (tiga) yaitu tentang perikatan dan landasan hukum dasarnya adalah pasal ketentuan-ketentuan umum perikatan seperti Pasal 1233 dan 1234.
Pasal 1233 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.” Dalam hal ini, perjanjian garansi lahir karena adanya persetujuan.
Pasal 1234 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.” Dalam hal ini, perjanjian garansi adalah perikatan yang ada untuk berbuat sesuatu, yaitu menjamin atau berbuat “menjamin”.
Seperti yang telah diuraikan dalam pengertian tentang Jaminan produk atau Garansi, pada dasarnya perjanjian garansi yang dimaksud dalam hal jaminan produk ini adalah suatu perjanjian penjaminan dimana pihak ketiga (dalam hal ini podusen atau importir) menjamin bahwa produk yang dijual oleh pihak pertama (yaitu penjual atau distributor) kepada pihak kedua (pembeli atau konsumen) adalah produk yang terbebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan bahan.
Dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
Menurut seorang praktisi hukum Rachmadi Usman pasal tersebut merupakan landasan hukum dasar perjanjian garansi dan ini juga dapat dijadikan dasar hukum garansi jaminan produk dengan menggunakan penafsiran analogi, karena bila langsung menjadi dasar hukum tanpa adanya penafsiran analogi maka substansi yang terkandung dalam pasal tersebut sedikit berbeda dengan garansi atau jaminan produk.
Kalau pada pasal tersebut substansi perjanjian lebih cenderung mengarah pada perjanjian garansi yang dicontohkan pada bank garansi misalnya. Dimana pihak bank merupakan suatu pihak yang menjamin atau disebut “penanggung”, “guarantor”, atau “borg” yang bersedia bertindak sebagai penanggung bagi nasabahnya yang menjadi debitur dalam mengadakan suatu perjanjian (pokok) dengan pihak lain sebagai kreditur. Perjanjian (pokok) tersebut biasanya adalah perjanjian kerjasama antara nasabah bank (A) dengan pimpinan proyek (Y) untuk mengerjakan suatu proyek tertentu. Dan pengerjaan proyek oleh si “A” inilah yang dijamin oleh si Bank, sehingga Pimpinan Proyek “Y” dapat merasa aman bila bekerjasama dengan si “A” (tentunya proyek yang dijaminkan dengan bank garansi adalah proyek yang mahal atau yang menghabiskan dana besar). Sedangkan bila dikaitkan dengan perjanjian garansi dalam hal jaminan produk maka akan ditemukan kesesuaian sebab pada dasarnya adalah sama-sama suatu perjanjian jaminan, dimana kalau dalam hal ini, produsen atau pelaku usaha lah yang berperan sebagai penjamin atau penanggung atau guarantor atau borg yang bersedia bertindak sebagai penanggung akan kualitas produk yang diperjualbelikan oleh penjual (distributor) kepada pembeli (konsumen). Jadi bila dianalogikan maka peran produsen atau pelaku usaha dalam perjanjian garansi jaminan produk sama dengan peran bank dalam perjanjian garansi bank garansi sama-sama sebagai penjamin, peran produk yang dijual si penjual atau distributor sama dengan peran kerja nasabah bank ( atau si “A”) yaitu sama-sama yang menjadi objek jaminan dengan perbedaan kalau si penjual atau distributor yang dijamin adalah kualitas produk yang dijualkannya sedangkan si nasabah bank (si “A”) yang dijamin adalah kualitas kerjanya yaitu baahwa dia mampu mengerjakan proyek tersebut, sedangakan peran pembeli (konsumen) sama dengan peran si Pimpinan Proyek (si “Y”), dalam hal ini sama-sama mendapat penjaminan sehingga merasa aman dan terlindungi dari berbagai bentuk kerugian, dimana si pembeli atau konsumen produk akan merasa aman dan terlindungi dari cacat bahan atau kerusakan dari kesalahan pekerja sedangkan Pimpinan proyek atau “Y” merasa aman dan terlindungi dari kerugian kegagalan proyek. Sebab kedua pihak yang mendapat penjaminan itu pun telah membayar mahal segala sesuatunya jadi memang pantaslah mendapatkan suatu jaminan atau garansi. Uraian diatas inilah yang dimaksudkan penafsiran analogi tadi.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian garansi serupa dapat kita lihat juga pengaturannya pada Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 dengan juga meperhatikan Pasal 1831 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 1832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sedangkan untuk menjamin produk dari cacat tersembunyi yang mengakibatkan kerugian dipihak konsumen maka Pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya tersebut.


2.     Jenis-jenis Hukum jaminan
  • Jaminan Umum : Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-undang
  • Jaminan Khusus : Jaminan yang lahir karena perjanjian
  • Jaminan Kebendaan: Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri, yaitu mempunyai hubungan langsung atas benda dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan.
  • Jaminan Perorangan: Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur, terhadap harta kekayaan debitur semuanya.
3.     Asas-asas Hukum Jaminan
1. Asas Publicitiet
Asas bahwa semua hak baik hak tanggungan hak fidusia dan hipotik harus didaftarkan.
Hak tanggungan: Objek benda jaminan adalah tanah berikut atau tidak berikut dengan apa yang ada diatasnya maka aturan hukum dan yang mengaturnya adalah hak tanggungan.
Hak fidusia: Objek jaminan adalah benda bergerak contoh: mobil, sepeda motor, perabot rumah tangga. Benda yang akan menjadi jaminan masih tetap dikuasai. Aturan hukum yang mengaturnya disebut lembaga Fidusia.
Benda yang akan menjadi jaminan tapi tidak dikuasainya maka aturan hukum yang mengaturnya disebut pengadaian
Hipotik: Hipotik digunakan apabila benda yang sebagai jaminan berupa kapal yang berbobot minimal 20 ton.
Hak-hak yang dijadikan sebagai jaminan ia wajib didaftarkan yaitu dimasing-masing instansi yang berwenang terhadap benda tersebut. Kegunaan didaftarkan adalah supaya pihak ketiga tahu bahwa benda tersebut sedang dijaminkan untuk sebuah hutang atau dalam pembebanan hutang.
Asas publicitiet untuk melindungi pihak ketiga yang beritikat baik
2. Asas Specialitiet
Bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotik hanya dapat dibebankan atas persil (satuan tanah) atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu. Secara ringkas, Bahwa sesuatu benda yang akan dijaminkan sudah didaftarkan.
3. Asas Tidak Dapat Dibagi
Yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotik walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. Contoh: A berhutang ke Bank 100 juta dengan jaminan sebidang tanah, dan sebuah mobil. Tanah nilai taksirannya 100 juta dan mobil nilai taksirannya 60 juta, apabila hutang ini telah 50 % diselesaikan maka nilai jaminannya hanya sebatas 1 benda jaminan tapi dengan begitu walau hutang sudah mengecil tapi jaminan tidak bisa dibagi atau diambil.

4.     Sistem Pengaturan Hukum Jaminan

Sistem Terbuka: Boleh disimpangi. Orang dapat melakukan hukum perjanjian mengenai apapun juga baik yang sudah ada pengatur aturannya dalam KUHPerdata (Nominat) maupun yang tidak diatur dalam KUHPerdata (Innominat).
Sistem Tertutup: Tidak Boleh disimpangi tunduk oleh peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, tidak dapat mengadakan hak-hak jaminan baru selain yang telah ditetapkan dalam Undang-undang.


5.     Sumber Hukum Jaminan
  • Buku ke II KUHPerdata: Antara lain tentang gadai dan hipotik.
  • Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Terutama yang berkaitan Hipotik kapal laut
  • Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok agrarian.
  • Undang-Undang No 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
  • Undang-undang No 42 tahun 1949 tentang Fidusia.
  • Undang-undang no 21 Tahun 1992 tentang pelayaran.
6.     Fungsi Jaminan
Fungsi jaminan adalah sebagai sarana perlindungan bagi keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Jaminan secara yuridis mempunyai fungsi untuk mengkover hutang. Oleh karena itu, jaminan di samping faktor-faktor lain (watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi ekonomi), dapat dijadikan sebagai sarana perlindungan untuk para kreditur dalam kepastian atau pelunasan utang calon debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur.






BAB IV
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian bahasa sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau penanggung pinjaman uang terhadap seseorang.
2.     Saran
Dalam melakukan kegiatan pinjam-meminjam sebaiknya di landasi dengan jaminan, karena dengan adanya jaminan para kreditur mendapatkan sarana perlindungan bagi keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur. Jadi, marilah kreditur dan debitur melakukan sebuah jaminan dalam proses peminjaman atau hutang.










DAFTAR PUSTAKA
Bahsan,M.2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada
Latif,Azharudin. Nahrowi. 2009. Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
Fuady, Munir. 2003. Jaminan Fidusia. Bandung: PT. Aditya Bakti
H.S., Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Widjaja, Gunawan. Yani, Ahmad. 2001. Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

1 komentar: